CINTA & KESETIAAN

True love never grows old. Old love does not rust. "Cinta sejati tidak akan pernah tua. Cinta lama tidak
 akan berkarat" [pepatah] Cinta sejati adalah cinta karena ilahi. Tulus ikhlas, tanpa pamrih, dan tak lekang dimakan zaman dan ditempa cuaca. Cinta sejati juga tahan uji, tetap akan terkenang meski jasad tercerai dari ruhnya. Banyak kisah-kisah mengharukan dari pasangan yang saling mencintai untuk kita renungi. Bahwa cinta itu meminta pengorbanan, kesetiaan dan kesabaran. Jangan mengaku cinta dan mengungkapkan cinta kalau tidak mau berkorban. "Anda dapat memberi tanpa mencintai, tapi Anda tidak dapat mencintai tanpa memberi," kata sebuah ungkapan asing. Kisah kesetiaan cinta sudah banyak diceritakan dalam banyak kitab, salah satunya adalah terjadi pada masa Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Pada masa itu ada seorang wanita cantik bernama Su’da. Ia sudah bersuami namun suatu ketika suaminya jatuh miskin. Su’da pun direbut kembali oleh orangtuanya yang tidak sudi dengan kemiskinan suaminya. Marwan bin al-Hakam, Gubernur Madinah yang mengetahui kecantikan wanita itu lantas merebutnya dari suaminya, memaksanya untuk menceraikannya dan menikahinya. Diriwayatkan bahwa suaminya mengadu kemudian pada Mu’awiyah bin Abi Sofyan ihwal perbuatan gubernurnya tersebut. Mendengar kabar itu Mu’awiyah murka, ia pun menyuruh orang untuk membawa surat kepada Marwan. Surat itu berbunyi: "Telah sampai kepadaku bahwasanya engkau telah melampaui batas terhadap rakyatmu dan merongrong sebagian kehormatan kaum Muslimin. Engkau juga telah melampaui batas yang ditetapkan agama. Seyogyanya seorang gubernur menahan pandangannya dari nafsu syahwatnya dan mencegah dirinya dari kelezatan-kelezatan hawa nafsunya." Kemudian ia melanjutkan: "Alangkah celaka kamu, seandainya ada perkara yang tidak kamu ketahui. Maka mohonlah ampunan atas perbuatan para pezina. Si pemuda malang datang kepada kami mengharap pertolongan, mengadukan tentang kesedihan dan duka yang teramat dalam. Aku bersumpah kepada Tuhan dan aku tidak akan melanggar sumpahku. Sungguh, dan selamatkanlah dirimu dari ancaman dan pembalasanku. Jika kamu menyalahi perintah yang kutuliskan ini. Akan aku jadikan dirimu daging di atas panggang api. Ceraikan Su’da dan serahkan ia segera. Kepada al-Kamit dan Nadlr bin Dzaiban." Mu’awiyah melipat surat itu dan membubuhkan stempel khilafah. Sesaat kemudian ia memanggil al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban, menyuruh mereka berdua untuk menyampaikan amanatnya. Di Madinah, Marwan yang menerima surat itu membacanya dan menangis. Ia pun menceraikan Su’da dan menyerahkannya pada al-Kamit dan Nadr bin Dzaiban. Lalu ia menulis surat jawaban untuk Mu’waiyah yang bunyinya: "Jangan terburu-buru menilai wahai Amirul Mukminin. Sungguh aku telah memenuhi janji-ancaman dengan tulus dan baik. Tidaklah aku mendatangi barang haram yang mengagumkan diriku. Lalu mengapa engkau tuduh diriku sebagai pengkhianat-pezina. Sabarlah! Sesungguhnya jika engkau melihatnya. Niscaya angan-anganmu mengalir pada sebuah patung manusia. Akan datang kepada tuan, matahari yang tidak ada yang menandinginya. Di hadapan khalifah, baik golongan jin maupun manusia." Ia membubuhkan cap kegubernurannya dan menyerahkan pada pembantu Mu’awiyah. Ketika rombongan sampai di istana Mu’awiyah membaca surat Marwan dan penasaran dengan wanita bernama Su’da yang telah direbut Marwan dari suaminya. Ketika melihatnya Mu’awiyah terkejut. Ia terpikat dengan kecantikan, kemolekan, keluguan, dan keindahan perawakan wanita tersebut. Seketika ia jatuh hati dan melamarnya. Tapi wanita itu menjawab dengan halus, "Aku ingin menemui suamiku." Ketika pria itu dibawa ke hadapan Mu’awiyah, khalifah langsung berbicara padanya, "Wahai orang Arab, apakah kamu masih mencintai Su’da? Aku menawarkan padamu tiga orang dayang istana yang masih perawan sebagai ganti istrimu, setiap dayang kuberi seribu dinar, dan aku akan memberimu uang yang cukup untuk hidup bersama ketiga dayang itu dari Baitul Mal setiap tahunnya." Mendengar ucapan Mu’awiyah, pria itu seketika jatuh pingsan. "Ada apa dengan dirimu?" tanya Mu’awiyah ketika pria itu siuman. "Sangat marah dan sedih. Aku datang untuk meminta perlindunganmu dari kezaliman Marwan bin al-Hakam. Lalu kepada siapa aku meminta perlindungan dari kezalimanmu?" jawab orang itu menghiba. Kemudian ia berkata, "Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, seandainya engkau beri aku kursi kekhilafahan dengan segala isinya tidak ada nilainya bila dibandingkan dengan Su’da." Mu’awiyah yang takjub dengan kesetiaan pria ini lantas bertanya pada Su’da, "Mana yang engkau pilih; Aku Amirul Mukminin yang diliputi limpahan kemuliaan, kekuasaan dan istana; atau Marwan bin al-Hakam yang berbalutkan sifat kejam dan zalim; ataukah lelaki Arab yang tenggelam dalam kefakiran, kelaparan dan kesengsaraan ini?" Su’da menjawab, "Aku memiliki kenangan manis bersama lelaki ini, cinta yang tak tergoyahkan. Bersamanya aku akan sabar menghadapi kesengsaraan hidup, sebagaimana bersamanya aku mereguk kenikmatan pada saat kebahagiaan menjelang." Mu’awiyah terkagum-kagum dengan kecintaan Su’da pada suaminya yang jatuh miskin. Ia kemudian memberi sepuluh ribu dinar dan beberapa lembar pakaian kepada wanita itu, hal yang sama ia juga lakukan pada suaminya, lalu ia mengembalikan wanita itu pada suaminya dengan akad yang sah. Cinta sejati adalah cinta karena Allah. Benci pun adalah karena Allah. Cinta seperti itu akan senantiasa lulus dari berbagai ujian dan mendatangkan barokah pada para pemiliknya. Cinta seperti inilah yang harus dimiliki para pecinta di atas muka bumi ini. [dikutip dari buku Jangan Nodai Cinta, Gema Insani Press 2003

THANKS FOR READING


PRESS BUTTON LIKE

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komen c comel dan c ensemboy


 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...